Sedimentologi: Litostratigrafi dan Biostratigrafi

LITOSTRATIGRAFI

Litostratigrafi merupakan .cabang ilmu stratigrafi berdasarkan karakteristik litologi. dan hubungan stratigrafinya. Litologi yang diamati ketika melakukan observasi di lapangan meliputi jenis batuan, kenampakan fisik batuan seperti warna, mineral, komposisi, dan ukuran butir, struktur geologi, dan gejala lain pada tubuh batuan. Kandungan fosil juga harus diamati apabila terdapat pada tubuh batuan, karena merpakan salah satu komponen batuan.

Litostratigrafi memiliki tingkatan satuan dari kecil ke besar, yaitu:

  1. Perlapisan merupakan bagian dari anggota.
  2. Anggota adalah bagian dari suatu formasi. Tingkat penyebarannya tidak melebihi penyebaran formasi.
  3. Formasi adalah satuan dasar dalam pembagian satuan litostratigrafi yang secara litologi dapat dibedakan dengan jelas dan dengan skala yang cukup luas cakupannya untuk dipetakan dipermukaan atau ditelusuri dibawah permukaan. Formasi dapat terdiri dari satu litologi atau beberapa litologi yang berbeda, dengan ketebalan antara satu hingga ribuan meter.
  4. Kelompok/Grup adalah satuan litostratigrafi yang terdiri dari dua formasi atau lebih yang memiliki keseragaman ciri litologi.
  5. Supergrup adalah kombinasi dari beberapa kelompok.

Litostratigrafi berguna untuk menentukan korelasi atau hubungan stratigrafi antara satuan di atas dengan satuan di bawahnya, dan dengan satuan litologi lainnya.

BIOSTRATIGRAFI

Biostratigrafi merupakan cabang ilmu stratigrafi yang bergantung pada zonasi fisik biota, baik dalam ruang dan waktu, dalam rangka membangun posisi stratigrafi relatif (yaitu tua, muda, dan umur yang sama) dari batuan sedimen antara daerah geografis yang berbeda. Biostratigrafi menggunakan fosil sebagai alat untuk menentukan korelasi stratigrafi. Tujuan dari biostratigrafi adalah dengan menggunakan fosil dalam tubuh batuan untuk membentuk korelasi antara waktu yang sama pada stratigrafi batuan. Kehadiran spesies fosil tertentu pada dua daerah geografis menunjukkan batuan yang mengandung fosil yang sama terendapkan pada waktu yang sama. Contohnya: satu section batuan pada daerah yang sama memiliki litologi berupa batulempung dan batunapal, sedangkan section lainnya berupa batugamping. Namun apabila kandungan fosil yang terdapat pada kedua section tersebut sama, maka diperkirakan terbentuk pada waktu yang sama.

Biostratigrafi memiliki tingkatan satuan dari kecil ke besar, yaitu:

1. Zonula

2. Sub-Zona

3. Super Zona

Perbedaan antara Litostratigrafi danm Biostratigrafi

  • Penggolongan lapisan-lapisan batuan pada litostratigrafi didasarkan pada ciri-ciri fisik batuan dan litologi tanpa memperhatikan waktu atau kandungan fosil,  sedangkan penggolongan lapisan-lapisan batuan pada biostratigrafi didasarkan pada kandungan dan penyebaran fosilnya yang memiliki ciri-ciri khusus
  • Tingkatan satuannya. Pada litostratigrafi, tingkatan satuannya dari besar ke kecil meliputi Kelompok – Formasi – Anggota – Perlapisan, sedangkan pada biostratigrafi, tingkatan satuannya dari besar ke kecil meliputi Super Zona – Sub-Zona – Zonula

Jenis Stratigrafi

Tingkatan Satuan Stratigrafi

Litostratigrafi Supergroup

Kelompok

Formasi

Anggota

PerlapisanBiostratigrafiBiozonasi

Assemblage Zone

     Range Zone

     Acme Zone

     Internal Zone

     dll.

Fasies merupakan kombinasi antara beberapa tubuh batuan yang dilihat dari litologi, geometri, struktur sedimen, struktur biologi, dan arus purbanya. Aspek fasies tersebut memperlihatkan kenampakan yang berbeda dari tubuh batuan yang ada di atas, di bawah, dan di sekelilingnya.

Data yang digunakan untuk menganalisis dan menentukan lingkungan pengendapan dengan litostratigrafi dan biostratigrafi salah satunya berasal dari fasies sedimen, yang terdiri dari beberapa interpretasi data, yaitu:

1. Geometri

2. Litologi

3. Paleontologi

4. Struktur Sedimen

Terdapat beberapa istilah yang digunakan dalam konsep fasies ini, yaitu:

  1. Lithofacies yang memperlihatkan karakteristik suatu litologi batuan dilihat dari proses fisika dan kimia yang aktif pada waktu pengendapan sedimen. Hal ini dapat diketahui dari keterdapatan struktur sedimen yang ada pada tubuh batuan yang tersingkap.
  2. Biofacies yang memperlihatkan kehadiran flora dan fauna
  3. Ichnofacies yaitu struktur fosil yang terekam dalam sedimen atau substrat lainnya oleh aktivitas organisme pada masa lampau.

Kombinasi antara lithofacies, biofacies, dan ichnofacies menyusun fasies-fasies sedimen, yang nantinya akan digunakan untuk merekonstruksi lingkungan pada saat pengendapan sedimen. Sebagai contoh, struktur sedimen wave ripples pada lithofacies, keterdapatan hermatypic corals pada biofacies dan ichnofacies menunjukkan bahwa sedimen terendapkan di air laut yang dangkal.

Seilacher Ichnofacies

Gambar 1: Distribusi Ichnofasies Laut Dalam (klik untuk memperbesar)

Biofacies pada Trilobita

Gambar 2: Biofasies pada Trilobita (klik untuk memperbesar)

Geometri Fasies Hubungan Litostratigrafi

Gambar 3: Geometri Fasies / Hubungan Litostratigrafi (klik untuk memperbesar)

Source: Slide of “Stratigraphy: Concepts Related to Subdivision of Rock Record”

Daftar Pustaka

Davis, Jr., R.A., 1992. Depositional System: An Introduction to Sedimentology and Stratigraphy, 2nd ed. New Jersey: Prentice-Hall.

Surjono, S.S. Sedimentologi. 2009. Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada

Slide of “Stratigraphy: Concepts Related to Subdivision of the Rock Record”

http://sedimentologidanstratigrafi09.blogspot.com/2012/07/sedimentologi-dan-stratigrafi.html

http://en.wikipedia.org/wiki/Lithostratigraphy

http://en.wikipedia.org/wiki/Biostratigraphy

Dipublikasi di Geologi, Sedimentologi, Stratigrafi | Tag , , | Meninggalkan komentar

Mineralogi Optik: Mikroskop Polarisasi

Ini adalah posting pendahuluan sebelum menuju ke Mineralogi Optik: Perbedaan antara Nikol Sejajar dan Nikol Bersilang

MIKROSKOP POLARISASI

Mikroskop merupakan alat yang digunakan untuk melihat benda-benda yang berukuran kecil atau mikro, sehingga apabila benda-benda mikro tersebut dilihat menggunakan mikroskop akan terlihat besar. Dalam studi geologi, digunakan alat yang bernama “mikroskop polarisasi”. Mikroskop polarisasi adalah mikroskop yang digunakan dalam pembelajaran spesimen geologi, khususnya pada pengamatan sayatan tipis dari batuan. Jenis mikroskop polarisasi memiliki bentuk yang hampir sama dengan mikroskop pada umumnya, namun fungsinya tidak hanya memperbesar benda-benda mikro dan menggunakan cahaya biasa, pada mikroskop polarisasi cahaya yang digunakan adalah cahaya terpolarisasi. Cahaya terpolarisasi terpusat pada satu arah, sedangkan cahaya biasa bergerak dalam arah gerakan acak. Dengan cahaya terpolarisasi ini kita dapat melihat ciri-ciri atau sifat-sifat dari kristal dan mineral secara jelas, terutama dari segi warna, karena setiap mineral memiliki warna tersendiri.

Selain itu yang membedakan antara mikroskop konvensional dengan mikroskop polarisasi adalah adanya beberapa komponen tambahan pada mikroskop polarisasi, seperti keping analisator, kompensator, polarisator, dan lensa Amici-Bertrand. Terdapat beberapa tipe mikroskop polarisasi, seperti tipe Olympus, Reichert, dan Bausch & Lomb.

Mikroskop PolarisasiGambar 1: Mikroskop Polarisasi (klik gambar untuk memperbesar)

Mikroskop Polarisasi ReichertGambar 2: Mikroskop Polarisasi Reichert (klik gambar untuk memperbesar)

Mikroskop Polarisasi Olympus

Gambar 3: Mikroskop Polarisasi Olympus (klik gambar untuk memperbesar)

  • Kaki Mikroskop

Kaki mikroskop berfungsi sebagai penyangga atau tumpuan mikroskop berdiri. Umumnya berbentuk huruf U. Pada mikroskop polarisasi tipe Olympus, kaki mikroskop digunakan sebagai tempat lampu halogen. Lampu halogen ini berfungsi sebagai sumber cahaya. Pada tipe Bausch & Lomb, kaki mikroskop digunakan untuk menempatkan cermin.

  • Substage Unit
  1. Polarisator atau “Lower Nicol”

Polarisator adalah bagian mikroskop yang terdiri dari suatu lembaran polaroid yang berfungsi sebagai penyerap cahaya secara terpilih (selective absorbtion) sehingga cahaya yang diteruskan akan bergetar dan merambat pada satu arah rambatan atau getaran. Lembaran ini diletakkan sedemikian rupi hingga arah getaran sinarnya sejajar dengan salah satu benang silang pada arah N-S atau E-W.

  1. Diafragma Iris

Diafragma berfungsi sebagai pengatur jumlah cahaya yang diteruskan. Caranya adalah dengan menambah besarnya aperture diafragma. Diafragman terletak di atas polarisator. Kemampuan akomodasi mata pada tiap-tiap pengamat sangatlah berbeda, sehingga cahaya yang diteruskan perlu diator agar sesuai dengan kondisi mata pengamat.

Fungsi lain dari diafragma iris adalah untuk menetapkan luasnya daerah pada peraga yang ingin diberikan penerangan.

  1. Meja Objek

Meja objek merupakan suatu penampang yang berlubang di bagian tengahnya sebagai jalan masuknya cahaya. Pada meja objek terdapat pula sepasang penjepit untuk menjepit kaca preparat. Meja objek ini dapat berputar pada sumbu vertikal, dilengkapi dengan skala 0° hingga 360°. Pada bagian tepi meja objek terdapat tiga sekrup yang berfungsi sebagai pemusat putaran meja pada sumbunya, atau dikenal dengan “centering”.

  1. Kondensor

Kondensor merupakan sebuah lensa cembung yang berfungsi sebagai pemusat cahaya yang datang dari cermin yang ada di bawahnya, dan merupakan bagian “substage unit” paling atas.

  • Tubus Mikroskop

Tubus mikroskop merupakan bagian besar dari suatu mikroskop yang terletak di atas meja objek. Tubus mikroskop berfungsi sebagai unit teropong. Tubus mikroskop ini secara lebih detail terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu:

  1. Lensa Objektif

Lensa objektif berfungsi sebagai penangkap dan pembesar bayangan sayatan mineral dari meja objek. Lensa objektif terletak pada bagian paling bawah tubus dan biasanya terdapat tiga buah lensa objektif dengan perbesaran yang berbeda, mulai dari 4x, 10x dan 40x. Ada pula yang memiliki perbesaran hingga 100x.

Lensa Mikroskop Objektif

Gambar 4: Lensa Objektif (klik gambar untuk memperbesar)

2. Lubang Kompensator

Lubang kompensator berfungsi sebagai tempat untuk memasukkan kompensator,  berupa baji kuarsa atau gips yang menipis ke arah depan sehingga pada saat dimasukkan lubang akan menghasilkan perubahan warna interferensi pada mineral.

3. Analisator

Analisator ini memiliki fungsi yang hampir sama dengan polarisator dan terbuat dari bahan yang sama juga, namun arah getarannya bisa dibuat searah getaran polarisator untuk nikol sejajar atau tegak lurus arah getaran polarisator untuk nikol bersilang.

4. Lensa Amici-Bertrand

Lensa Amici-Bertrand berfungsi sebagai pengamatan konoskopik saja, untuk memperbesar gambar interferensi yang terbentuk pada bidang fokus balik (back focal plane) pada lensa objektif, dan memfokuskan pada lensa okuler.

5. Lensa Okuler

Lensa okuler berfungsi untuk memperbesar bayangan objek. Dengan lensa inilah bayangan akhir akan dihasilkan sehingga kita dapat mengamatinya secara jelas.  Pada lensa okuler biasanya terdapat benang silang yang berfungsi sebagai penanda pusat objek pengamatan.

Lensa Mikroskop Okuler

Gambar 5: Lensa Okuler (klik gambar untuk memperbesar)

  • Lengan Mikroskop

Lengan mikroskop merupakan bagian yang berfungsi sebagai pegangan pada saat kita ingin memindahkan mikroskop. Selain itu juga sebagai penghubung antara bagian tubus dengan kaki mikroskop.

  • Cermin

Cermin pada mikroskop polarisator biasanya terdiri dari cermin datar dan cermin cekung berfungsi sebagai penangkap dan penerus cahaya menuju sistem optik dalam mikroskop. Cermin cekung berfungsi sebagai pemusat cahaya  dengan hasil yang tidak simetris (assymetrical cone of illumination), dan cermin datar berfungsi sebagai pemantul cahaya yang sesuai cahaya yang diterima.

Perbedaan antara Mikroskop Reichert dengan Mikroskop Olympus

  • Cermin

Pada mikroskop Reichert, cermin terletak pada bagian luar mikroskop, sedangkan pada mikroskop Olympus, cermin terletak di dalam kaki mikroskop.

  • Meja objek

Pada mikroskop Reichert, meja objek memiliki 2 buah sekrup pemusat yang berfungsi sebagai pengatur sumbu putaran meja tepat pada benang silang lensa okuler, sedangkan pada mikroskop Olympus terdapat sekrup pengatur fokus yang berfungsi sebagai pengatur ketinggian meja objek dan jarak lensa objektif dengan peraga. Sekrup pengatur fokus ini terletak di bagian bawah mikroskop.

  • Lengan mikroskop

Pada mikroskop Reichert, terdapat dua sekrup pengatur fokus, yaitu fokus kasar dan halus, berada di bagian atas mikroskop, sedangkan pada mikroskop Olympus, sekrup pengatur fokus dihimpun menjadi satu dan terdapat di bagian bawah mikroskop.

  • Lensa Objektif dan Objectives Holder

Pada mikroskop Reichert, lensa objektif dipasang satu demi satu dan terletak pada bagian bawah mikroskop. Masing-masing lensa objektif harus dipusatkan dengan kedua sekrup pemusat yang terdapat pada bagian atas dari objektif. Sedangkan pada mikroskop Olympus, terdapat kepala putaran yang dipasang pada bagian bawah tubus mikroskop. Kepala putaran tersebut memiliki empat lubang sebagai tempat masuknya lensa objektif. Masing-masing objektif dipusatkan dengan cara memutar memutar gelang yang terdapat pada bagian bawah objektif.

Daftar Pustaka

Danisworo, dkk. 1999. Buku Kristalografi Mineralogi. Yogyakarta: UPN Veteran Yogyakarta

Graha, Doddy S. 1987. Batuan dan Mineral. Bandung: Penerbit Nova.

Isbandi, Djoko. 1986. Mineralogi. Yogyakarta: Nur Cahaya.

Judith, Bean dkk. 1981. Diktat Kuliah Mineral Optik. Yogyakarta: Pusat Penerbitan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada

Dipublikasi di Geologi, Mineralogi Optik | Tag , | Meninggalkan komentar

Mineralogi Optik: Mineral Biaxial

Dalam ilmu mineralogi optik, mineral-mineral pada sayatan dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan berdasarkan sifat-sifat optis yang terdapat pada mineral-mineral tersebut, yaitu mineral isotropik dan mineral anisotropik. Mineral isotropik adalah mineral-mineral yang memiliki sistem kristal isometrik. Pada mineral isotropik tersebut, gelombang-gelombang yang melewati mineral tersebut bergerak ke setiap arah dengan kecepatan yang sama. Sedangkan mineral anisotropik adalah mineral-mineral yang memiliki sistem kristal selain isometrik. Mineral anisotropik terbagi menjadi dua golongan, yaitu mineral uniaxial dan mineral biaxial. Sistem kristal tetragonal, trigonal, dan hexagonal termasuk dalam mineral uniaxial, sedangkan orthorombik, monoklin, dan triklin termasuk dalam mineral biaxial.

Semua mineral biaxial memiliki simetri optik 2/m2/m2/m. Namun, dalam setiap sistem kristal, arah optik memiliki korespondensi yang berbeda ke arah sumbu kristalografi.

Dalam kristal ortorombik, arah optik sesuai dengan sumbu kristalografi, yaitu arah X dan indeks bias yang sesuai, yang dapat berupa sumbu kristalografi a, b, atau c. Arah Y dan b bisa sejajar dengan baik, b, atau c, dan arah Z atau c yang dapat sejajar dengan baik terhadap b atau c.

Dalam kristal monoklinik, salah satu X (a), Y (b), atau (c) Z memiliki arah yang sejajar dengan sumbu kristalografi b, dan dua lainnya tidak searah dengan arah kristalografi.

Dalam triklinik tidak ada kristal dari arah optik atau indeks bertepatan dengan arah kristalografi, meskipun di beberapa kasus yang jarang terjadi salah satu indeks mungkin bertepatan dengan salah satu arah kristalografi.

Pada mineral biaxial, semua sinar berjalan ke semua arah dengan kecepatan yang berbeda-beda. Terdapat tiga sinar yang melewati mineral-mineral tersebut, yaitu sinar x (atau α ) (fast), sinar y (atau β ) (medium), dan sinar z (atau γ ) (slow)..

Gambar interferensi mineral biaxial dapat berupa positif (+) atau negatif (-), tergantung pada apakah indeks bias b lebih dekat dengan yang a atau c. Disebut biaxial positive apabila sumbu optisnya menyudut lancip dengan sumbu sinar z, atau sumbu β lebih dekat dengan sumbu α daripada sumbu γ. Pada 2V, sumbu optisnya menyudut lancip dengan sumbu sinar z, sehingga disebut “acute bisectrix” (BXA). Sedangkan disebut biaxial negative apabila sumbu β lebih dekat terhadap sumbu γ daripada sumbu α. Pada 2V, sumbu optisnya menyudut lancip dengan sumbu sinar x,

Posisi dari BXA ini sebesar 45°, dan merupakan posisi yang paling banyak digunakan untuk penentuan secara optis dan dalam studi mineral biaxial.

Optical Mineralogy Biaxial 2Optical Mineralogy Biaxial 1 Biaxial Negatif Biaxial Positif

Daftar Pustaka

Judith, B., Hadi S., Soekardi. 1981. Diktat Kuliah Mineral Optik. Yogyakarta: Pusat Penerbitan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada

Kerr, P.F. 1959. Optical Mineralogy. New York: McGraw-Hill Book Company, Inc.

Kraus, E.H., Walter F.H., Lewis S.R. 1951. Mineralogy: An Introduction to the Study of Minerals and Crystals. New York: McGraw-Hill Book Company, Inc.

http://www.brocku.ca/earthsciences/people/gfinn/optical/biaxsign.htm

http://www.tulane.edu/~sanelson/eens211/biaxial.htm

Dipublikasi di Geologi, Mineralogi Optik | Tag , | Meninggalkan komentar

Mineralogi Optik: Cara Deskripsi Mineral pada Nikol Sejajar

Cara deskripsi mineral pada Nikol Sejajar

Pada posting sebelumnya mengenai Perbedaan antara Nikol Sejajar dan Nikol Bersilang, pembahasan selanjutnya adalah cara deskripsi pada nikol sejajar. Secara umum sifat-sifat optik yang dapat diamati dengan menggunakan Nikol Sejajar terbagi menjadi dua, yaitu:

  • Sifat-sifat optis yang berhubungan dengan sumbu-sumbu kristalografi, seperti bentuk, belahan, pecahan, dan retakan.
  • Sifat-sifat optis yang berhubungan dengan sumbu-sumbu sinar pada kristal, seperti warna, relief, pleokroisme, dan relief.

Selain sifat-sifat optis diatas, ada pula sifat-sifat optis lain yang dapat dideskripsi, seperti bentuk mineral, ukuran mineral, inklusi, dan ketembusan cahaya.

Ketembusan Cahaya

Berdasarkan sifatnya terhadap cahaya, mineral-mineral terbagi menjadi tiga  jenis, yaitu

  • Mineral yang tembus cahaya (transparent)
  • Mineral yang tidak tembus cahaya (opaque)

Apabila dilihat di bawah mikroskop, mineral transparent akan berwarna bening dan cerah, sedangkan mineral opaque kenampakannya di bawah mikroskop berupa butiran berwarna hitam, dimana cahaya tidak menembus mineral.

Ukuran Mineral

Ukuran mineral dapat ditentukan dengan cara melihat besar medan pandang yang terlihat, kemudian memperkirakan besar mineral yang terlihat. Besarnya medan pandang dapat diukur dengan menggunakan mistar dan meletakkannya di bawah lensa, kemudian lihat garis-garis satuan millimeter pada penggaris yang terlihat di bawah lensa okuler. Apabila besar medan pandang adalah 4 mm, dan ukuran mineral hingga setengah dari medan pandang, maka dapat diperkirakan ukuran mineral adalah 2 mm. Hal ini lebih mudah dilakukan apabila telah difasilitasi oleh lensa okuler berskala. Ukuran mineral dapat ditulis dalam mm atau cm

Bentuk Mineral

Pengamatan bentuk mineral dilakkan dengan melihat atau mengamati bidang batas / garis batas pada mineral. Bentuk dari mineral terbagi menjadi tiga golongan, yaitu:

  • Euhedral, apabila suatu kristal dibatasi oleh bidang kristal itu sendiri. Biasanya terdapat pada mineral yang sifatnya monomineral. Untuk jenis euhedral terbagi menjadi dua, yaitu tabular  atau prismatic.
  • Subhedral, apabila suatu kristal dibatasi oleh sebagian dari bidang-bidang kristalnya sendiri.
  • Anhedral, apabila suatu kristal tidak dibatasi oleh bidang-bidang kristalnya sendiri.

 atas, kristal subhedral piroksen anhedral hornblende, bawah kristal euhedral subhedral anhedral pada piroksenGambar : (Atas) Bentuk Kristal Subhedral pada Piroksen dan Anhedral pada Hornblende. (Bawah) Bentuk Kristal Euhedral, Subhedral dan Anhedral pada Piroksen

 

Belahan

Belahan merupakan kecenderungan suatu kristal untuk membelah dalam arah tertentu. Belahan pada mineral dapat dilihat kenampakannya berupa garis-garis seperti sayatan yang teratur dan menerus pada arah tertentu pada bidang belahannya. Suatu mineral tertentu dapat terdiri dari satu belahan, dua belahan, tiga belahan, empat belahan, enam belahan, atau tidak ada belahan sama sekali. Untuk mineral muskovit umumnya memiliki belahan satu arah, mineral kuarsa tidak memiliki belahan, hornblende dan biotit umumnya memiliki dua belahan, dan kalsit memiliki tiga belahan. Namun karena pengamatan di bawah mikroskop sedikit sulit diamati untuk mineral yang memiliki tiga belahan karena kenampakannya yang dua dimensi, maka umumnya mineral kalsit hanya dideskripsi memiliki dua belahan.

Pecahan

Pecahan merupakan kecenderungan suatu mineral untuk pecah. Pecahan pada mineral terbagi menjadi dua, yaitu even dan uneven. Kenampakan pecahan pada mineral di bawah mikroskop polarisasi dapat dilihat berupakan retakan dengan warna yang tidak tembus cahaya. Pecahan dapat memotong arah belahan ataupun sejajar dengan arah belahan suatu mineral.

Warna

Kenampakan warna yang terlihat pada suatu mineral atau batuan pada hand specimen hasilnya akan berbeda dengan kenampakan yang terlihat di bawah mikroskop polarisasi. Suatu mineral atau batuan pada hand specimen yang berwarna bening atau pucat, apabila dilihat di bawah mikroskop maka kemungkinan mineral atau sayatan dari batuan tersebut akan terlihat berwarna. Umumnya pengamatan yang dilakukan pada Nikol Sejajar menunjukkan warna yang homogen pada seluruh bagian mineral.

Pleokroisme

Pleokroisme merupakan perubahan warna pada mineral apabila meja objek pada mikroskop diputar. Untuk mineral-mineral yang memiliki sistem kristal isometrik, apabila dilihat di bawah mikroskop dan meja objek diputar, maka kenampakannya akan sama dan warna tidak berubah. Berbeda dengan sistem kristal selain isometrik, apabila meja objek diputar maka warna akan berubah. Perubahan warna tersebut akan terlihat dua atau tiga warna yang berbeda tergantung pada sayatan mana yang akan diamati. Pleokroisme dapat ditentukan nilainya, yaitu rendah, sedang, atau tinggi.

 Relief

Relief menunjukkan tinggi rendahnya bidang batas kristal. Relief kristal akan tinggi apabila bidang batas kristal terlihat tegas dan di bawah mikroskop, serta permukaannya yang kasar. Untuk relief sedang kenampakannya terlihat dari bidang-bidang batas yang tipis dan permukaannya yang cukup halus, dan relief rendah kenampakan bidangnya tidak terlihat jelas.

Inklusi

Inklusi merupakan mineral pengotor atau material asing yang terkumpul pada permukaan mineral yang tertangkap di dalam kristal. Inklusi dapat berupa mineral-mineral berukuran kecil yang berbeda jenis, atau dapat berupa mineral impurities dari magma. Inklusi dapat diamati di bawah mikroskop Nikol Sejajar apabila terdapat perbedaan antara mineral utama dengan inklusinya, seperti perbedaan warna, perbedaan batas kristal, dan perbedaan relief.

Indeks Bias

Harga indeks bias tergantung dari sistem kristal yang terdapat pada suatu mineral. Untuk mineral dengan sistem isometric, hanya terdapat satu harga indeks bias (zat isotropik), sedangkan untuk sistem kristal selain isometric terdapat lebih dari satu harga indeks (zat anisotropik).

Indeks bias pada pengamatan mikroskop dengan Nikol Sejajar ditentukan dengan perbandingan nilai indeks bias mineral yang diamati dengan indeks bias balsam Kanada yang merekatkan mineral pada kaca preparat. Caranya adalah dengan mendekatkan meja mikroskop ke arah lensa. Apabila ketika meja mikroskop didekatkan dan mineral tampak membesar dari sebelumnya, maka indeks bias mineral < indeks bias balsam. Sebaliknya, apabila tampak mengecil, maka indeks bias mineral > indeks bias balsam.

Nama Mineral

Setelah mendeskripsi semua sifat-sifat optis yang penting dalam deskripsi mineral optik secara Nikol Bersilang, haruslah menulis nama mineralnya, agar dapat mengetahui sifat-sifat optis dari mineral-mineral tertentu.

Daftar Pustaka

Judith, B., Hadi S., Soekardi. 1981. Diktat Kuliah Mineral Optik. Yogyakarta: Pusat Penerbit Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada

http://opticalmineralogy.com/the-silicates-mineral-class/biotite/

Dipublikasi di Geologi, Mineralogi Optik | Tag , | Meninggalkan komentar

Mineralogi Optik: Perbedaan antara Nikol Sejajar dan Nikol Bersilang

Perbedaan antara Nikol Sejajar dan Nikol Bersilang

Selengkapnya ada DI SINI!!!

Nikol Sejajar dan Nikol Bersilang adalah dua metode pengamatan mineral yang dilakukan dengan menggunakan mikroskop polarisasi. Perbedaan dari penggunaan nikol sejajar dan nikol bersilang adalah pada analisatornya. Analisator berfungsi untuk menyerap cahaya secara terpilih (selective absorption), sehingga hanya cahaya yang bergetar pada arah tertentu saja yang dapat diteruskan. Untuk nikol sejajar, arah getaran yang diteruskan searah dengan getaran polarisator, sedangkan untuk nikol bersilang, arah getaran yang diteruskan tegak lurus dengan arah getaran polarisator.

MO 1

Warna Interferensi

Warna interferensi merupakan warna yang muncul ketika mengamati mineral pada nikol bersilang. Beberapa mineral memiliki perubahan warna apabila meja objek diputar. Warna interferensi suatu mineral diperoleh apabila meja objek diputar hingga diperoleh warna dengan terang yang maksimal.

Setelah mendapatkan warna interferensi, selanjutnya adalah penentuan orde dan retardasi. Orde diperoleh dengan cara mencocokkan warna interferensi dengan diagram buatan Michael-Levy, kemudian dilihat apakah warna interferensi tersebut merupakan orde satu, orde dua, atau orde tiga. Setelah menentukan orde, selanjutnya adalah retardasi. Retardasi merupakan perbedaan kecepatan rambat sinar cepat dan lambat. Nilai retardasi berupa nilai panjang gelombang yang dapat dilihat di bagian bawah dari diagram. Nilai retardasi ditentukan pula oleh selisih indeks bias (n1 – n2). Semakin besar nilai selisih indeks biasnya, semakin besar pula retardasinya. Contohnya adalah warna interferensi orange dengan orde dua dan retardasi 941 nm.

Diagram Birefringence oleh Michael-LevyBirefringence (klik untuk memperbesar)

Gelapan

Kedudukan gelapan yang terlihat pada Nikol Bersilang dapat diimplementasikan dengan kedudukan suatu sayatan yang tampak gelap apabila meja objek diputar melalui 360°.

Untuk mineral yang sifatnya anisotropik, apabila meja objek diputar 360°, maka terdapat empat kedudukan gelapan, yaitu pada kedudukan 0°, 90°, 180°, dan 270°.

Hal yang menyebabkan terbentuknya gelapan tersebut hingga terlihat gelap oleh pengamat adalah karena tidak adanya gejala bias ganda, dimana arah getaran cahaya sejajar dengan arah polarisator, dan sejajar dengan arah salah satu dari kedua sinar dari kristal itu sendiri. Dampaknya adalah seluruh sinar datang ditahan oleh polarizer atas sehingga tidak membentuk getaran. Seluruh sinar yang melalui mineral terserap pada polarizer atas, dan mineral terlihat gelap.

Gelapan dapat ditentukan apakah suatu mineral memiliki gelapan yang sejajar, miring, simetri, bergelombang, atau bintik-bintik.

 Sudut Gelapan

Sudut gelapan diperoleh dari warna interferensi maksimal, kemudian meja objek diputar pada sudut tertentuk hingga diperoleh gelapan. Gelapan dapat ditentukan apakah suatu mineral memiliki gelapan yang sejajar, miring, simetris, bergelombang, atau bintik-bintik. Mineral dengan gelapan yang sejajar memiliki sudut gelapan 0° – 3°, gelapan yang miring memiliki sudut gelapan 3° – 44°, gelapan yang simetris memiliki sudut gelapan 45°. Untuk sudut gelapan bergelombang biasanya terdapat pada mineral kuarsa, dan sudut gelapan bintik-bintik biasanya terdapat pada mineral kalsit.

Gelapan Nikol Bersilang 2 Gelapan Nikol Bersilang 1

 Kembaran (Twinning)

Kembaran merupakan efek warna yang ditimbulkan mineral akibat pertumbuhan bersama kristal saat pengkristalannya. Selama pertumbuhan kristal atau pada kondisi tekanan dan temperatur tinggi, dua atau lebih kristal intergrown dapat terbentuk secara simetri.  Simetri intergrown inilah yang dikenal sebagai kembaran.

Pada pengamatan nikol bersilang biasanya kenampakannya berupa perselingan antara warna hitam dan putih pada saat meja objek diputar.

 Kenampakan Kembaran pada Plagioklas

TRO / Tanda Rentang Optik

Tanda Rentang Optik (TRO) merupakan istilah yang menunjukkan hubungan antara kristalografi Sama seperti penentuan orde dan retardasi, Tanda Rentang Optik (TRO) atau Birefringence (BF) dapat ditentukan dengan melihat diagram Michael-Levy.

BF ditentukan dengan refraksi ganda pada pantulan maksimum (warna orde tertinggi). BF dapat diamati dengan cara memasang keping gips yaitu lensa Bertrand yang umumnya keberadaannya sering terpisah dari mikroskop, hingga kita harus memasangnya secara manual. Keping gips kemudian dipasang dibagian slot di atas analyzer. Perubahan warna yang dihasilkan biasanya ditentukan oleh warna reliefnya dan ketebalan sayatannya. Jika reliefnya rendah (tidak berwarna) maka memiliki sifat BF tinggi.

Apabila warna mineral setelah dipasang keping gips posisinya bergeser ke kiri dari diagram Michael-Levy (penurunan orde), maka TRO mineral adalah substraksi (-). Apabila mengalami penambahan orde, maka TRO mineral adalah adisi (+)

 Dwibias

Dwibias merupakan selisih nilai indeks bias. Penentuan dwi bias ini dapat dilakukan dengan cara menemukan titik potong retardasi (∆) dan tebal sayatan (t) pada diagram Michael-Levy nilai,

Tanda Elongasi

Tanda elongasi ditentukan dari hasil penentuan TRO. Apabila TRO mengalami adisi, maka tanda elongasinya adalah positif (+), dimana sinar yang bergerak cepat. Sebaliknya, apabila TRO mengalami substraksi, maka tanda elongasinya adalah negative (-), dimana sinar yang bergerak lambat.

Daftar Pustaka

Judith, B., Hadi S., Soekardi. 1981. Diktat Kuliah Mineral Optik. Yogyakarta: Pusat Penerbit Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada

http://heruharyadi27.blogspot.com/2009/11/mineral.html

http://aryadhani.blogspot.com/2009/05/mineral-optik.html

Dipublikasi di Geologi, Mineralogi Optik | Tag , | Meninggalkan komentar

Geologi Regional Pegunungan Selatan

Geologi Regional Pegunungan Selatan

 Fisiografi dan Geomorfologi Regional

Menurut Van Bemmelen ( 1949, hal. 596), Pegunungan Kulon dilukiskan sebagai dome besar dengan bagian puncak datar dan sayap-sayap curam, dikenal sebagai “Oblong Dome”. Dome ini mempunyai arah utara timur laut – selatan barat daya, dan diameter pendek 15-20 Km, dengan arah barat laut-timur tenggara.

Di bagian utara dan timur, komplek pegunungan ini dibatasi oleh lembah Progo, dibagian selatan dan barat dibatasi oleh dataran pantai Jawa Tengah. Sedangkan di bagian barat laut pegunungan ini berhubungan dengan deretan Pegunungan Serayu.

Inti dari dome ini terdiri dari 3 gunung api Andesit tua yang sekarang telah tererosi cukup dalam, sehingga dibeberapa bagian bekas dapur magmanya telah tersingkap. Gunung Gajah yang terletak di bagian tengah dome tersebut, merupakan gunung api tertua yang menghasilkan Andesit hiperstein augit basaltic. Gunung api yang kemudian terbentuk yaitu gunung api Ijo yang terletak di bagian selatan. Kegiatan gunung api Ijo ini menghasilkan Andesit piroksen basaltic, kemudian Andesit augit hornblende, sedang pada tahapterakhir adalh intrusi Dasit pada bagian inti. Setelah kegiatan gunung Gajah berhenti dan mengalami denudasi, di bagian utara mulai terbentuk gunung Menoreh, yang merupakan gunung terakhir pada komplek pegunungan Kulon Progo. Kegiatan gunung Menoreh mula-mula menghasilkan Andesit augit hornblen, kemudian dihasilkan Dasit dan yang terakhir yaitu Andesit.

Dome Kulon Progo ini mempunyai puncak yang datar. Bagian puncak yang datar ini dikenal sebagai “Jonggrangan Platoe“ yang tertutup oleh batugamping koral dan napal dengan memberikan kenampakan topografi “kars“. Topografi ini dijumpai di sekitar desa Jonggrangan, sehingga litologi di daerah tersebut dikenal sebagai Formasi Jonggrangan.

Pannekoek (1939), vide (Van Bammelen, 1949, hal 601) mengatakan bahwa sisi utara dari Pegunungan Kulon Progo tersebut telah terpotong oleh gawir-gawir sehingga di bagian ini banyak yang hancur, yang akhirnya tertimbun di bawah alluvial Magelang.

 Stratigrafi Pegunungan Kulon Progo

Daerah penelitian yang merupakan bagian sebelah timur dari Pegunungan Serayu Selatan, secara stratigrafis termasuk ke dalam stratigrafis Pegunungan Kulon Progo. Unit stratigrafis yang paling tua di daerah Pegunungan Kulon Progo dikenal dengan Formasi nanggula, kemudian secara tidak selaras diatasnya diendapkan batuan-batuan dari Formasi Jonggaran dan Formasi Sentolo, yang menurut Van Bemmmelen (1949, hal.598), kedua formasi terakhir ini mempunyai umur yang sama, keduanya hanya berbeda fasies.

1. Formasi Nanggulan

Formasi Nanggulan merupakan formasi yang paling tua di daerah pegunungan Kulon Progo. Singkapan batuan batuan penyusun dari Formasi Naggulan dijumpai di sekitar desa Nanggulan, yang merupakn kaki sebelah timur dari Pegunungan Kulon Progo.

Penyusun batuan dari formasi ini menurut Wartono Raharjo dkk (1977) terdiri dari Batupasir dengan sisipan Lignit, Napal pasiran, Batulempung dengan konkresi Limonit, sisipan Napa dan Batugamping, Batupasir dan Tuf serta kaya akan fosil foraminifera dan Moluska. Diperkirakan ketebalan formasi ini adalah 30 meter.

Marks (1957, hal.101) menyebutkan bahwa berdasarkan beberapa studi yang dilakukan olh Martin (1915 dan 31 ), Douville (1912), Oppernorth & Gerth (1928), maka formasi Nanggulan ini dibagai menjadi 3 bagian secara strtigrafis dari bawah ke atas adalah sebagai berikut

a) Anggota (“ Axinea Berds”), marupakan bagian yang paling bawah dari formasi Nanggulan. Ini terdiri dari Batupasir dengan interkalasi Lignit, kemudian tertutup oleh batupasir yang banyak mengandung fosil Pelcypoda, dengan Axinea dunkeri Boetgetter yang dominan. Ketebalan anggota Axinea ini mencapai 40 m.

b) Anggota Djogjakartae (‘Djokjakarta”). Batuan penyususn dari bagian ini adalh Napal pasiran, Batuan dan Lempung dengan banyak konkresi yang bersifat gampingan. Anggota Djokjakartae ini kaya akan Foraminifera besar dan Gastropoda. Fosil yang khas adalah Nummulites djokjakartae MARTIN, bagian ini mempunyai ketenalan sekitar 60 m.

Anggota Discocyclina (“Discocylina Beds”), Batuan penyususn dari bagian ini adalah Napal pasiran, Batupasir arkose sebagi sisipan yang semakin ke atas sering dijumpai. Discocyciina omphalus, merupakan fosil penciri dari bagian ini.Ketebalan dari anggota ini mencapai 200 m.

Berdasarkan pada studi fosil yang diketemukan, Formasi Nanggulan mempunyai kisaran umur antara Eosen Tengah sampai Oligosen Atas (Hartono, 1969, vide Wartono Raharjo dkk, 1977).

2. Formasi Andesit Tua

Batuan penyusun dari formasi ini terdiri atas Breksi andesit, Tuf, Tuf Tapili, Aglomerat dan sisipan aliran lava andesit. Lava, terutama terdiri dari Andesit hiperstein dan Andesit augit hornblende (Wartono Raharjo dkk, 1977).

Formasi Andesit Tua ini dengan ketebalan mencapai 500 meter mempunyai kedudukan yang tidak selaras di atas formasi Nanggulan. Batuan penyusun formasi ini berasal dari kegiatan vulaknisme di daerah tersebut, yaitu dari beberapa gunung api tua di daerah Pegunungan Kulon Progo yang oleh Van Bemmelen (1949) disebut sebagai Gunung Api Andesit Tua. Gunung api yang dimaksud adalah Gunung Gajah, di bagian tengah pegunungan, Gunung Ijo di bagian selatan, serta Gunung Menoreh di bagian utara Pegunungan Kulon Progo.

Aktivitas dari Gunung Gajah di bagian tengah mengahsilkan aliran-aliran lava dan breksi dari andesit piroksen basaltic. Aktivitas ini kemudian diikuti Gunung Ijo di bagian selatan Pegunungan Kulon Progo, yang menghasilkan Andesit piroksen basaltic, kemudian Andesit augit hornblende dan kegiatan paling akhir adalah intrusi Dasit. Setelah denudasi yang kuat, sedikit anggota dari Gunung Gajah telah tersingkap, di bagian utara, Gunung Menoreh ini menghasilkan batuan breksi Andesit augithornblende, yang disusul oleh intrusi Dasit dan Trakhiandesit.

Purnamaningsih (1974, vide warttono rahardjo, dkk, 1977) menyebutkan telah menemukan kepingan Tuff napalan yang merupakan fragmen Breksi. Kepingan Tuff napalan ini merupakan hasil dari rombakan lapisan yang lebih tua, dijumpai di kaki gunun Mujil. Dari hasil penelitian, kepingan Tuff itu merupakan fosil Foraminifera plantonik yang dikenal sebagai Globigerina ciperoensis bolli, Globigerina geguaensis weinzrel; dan applin serta Globigerina praebulloides blow. Fosil-fosil ini menunjukkan umur Oligosen atas.

Formasi Andesit Tua secara stratrigrafis berada di bawah Formasi Sentolo. Harsono Pringgoprawiro (1968, hal.8) dan Darwin Kadar (1975, hal.2) menyimpulkan bahwa umur Formasi Sentolo berdasarkan penelitian terhadap Foraminifera plantonik adalah berkisar antara Awal Meiosen sampai Pliosen. Formasi Nanggulan, yang terletak di bawah Formasi Andesit Tua mempunyai kisaran umur Eosen Tengah hingga Oligosen Atas (hartono, 1969, vide Wartono Rahardjo, dkk, 1977). Jika kisaran umur itu dipakai, maka Formasi Andesit Tua diperkirakan berumur Oligosen Atas sampai Meiosen Bawah. Menurut Purbaningsih (1974, vide wartono Rahardjo, dkk, 1977) umur Formasi Tua ini adalah Oligosen.

3. Formasi Jonggrangan

Litologi dari Formasi Jonggrangan ini tersingkap baik di sekitar desa Jonggrangan, suatu desa yang ketinggiannya di atas 700 meter dari muka air laut dan disebut sebagai Plato Jonggrangan.

Bagian bawah dari formasi ini terdiri dari Konglomerat yang ditumpangi oleh Napal tufan dan Batupasir gampingan dengan sisipan Lignit. Batuan ini semakin ke atas berubah menjadi Batugamping koral (Wartono rahardjo, dkk, 1977)

Formasi Jonggrangan ini terletak secara tidak selaras di atas Formasi Andesit Tua. Ketebalan dari Formasi Jonggrangan ini mencapai sekitar 250 meter (van Bemmelen, 1949, hal.598). koolhoven (vide van Bemmelen, 1949, hal.598) menyebutkan bahwa formasi Jonggrangan dan Formasi SEntolo keduanya merupakan Formasi Kulon Progo (“Westopo Beds”) ini diduga berumur Miosen Tengah.

4. Formasi Sentolo

Litologi penyusun Formasi Sentolo ini di bagian bawah, terdiri dari Aglomerat dan Napal, semakin ke atas berubah menjadi Batugamping berlapis dengan fasies neritik. Batugamping koral dijumpai secara lokal, menunjukkan umur yang sama dengan formasi Jonggrangan, tetapi di beberapa tempat umur Formasi Sentolo adalah lebih muda (Harsono Pringgoprawiro, 1968, hal.9).

Berdasarkan penelitian fosil Foraminifera yang dilakukan Darwin kadar (1975) dijumpai beberapa spesies yang khas, seperti : Globigerina insueta CUSHMAN & STAINFORTH, dijumpai pada bagian bawah dari Formasi Sentolo. Fosil-fosil tersebut menurut Darwin Kadar (1975, vide Wartono Rahardjo, dkk, 1977) mewakili zona N8 (Blow, 1969) atau berumur Miosen bawah. Menurut Harsono Pringgoprawiro (1968) umur Formasi Sentolo ini berdasarkan penelitian terhadap fosil Foraminifera Plantonik, adalh berkisar antara Miosen Awal sampai Pliosen (zona N7 hingga N21). Formasi Sentolo ini mempunyai ketebalan sekitar 950 meter ( wartono rahardjo, dkk, 1977).

Dari uraian di atas terlihat stratigrafi daerah Pegunungan Kulon Progo, baik itu perbedaan hubungan stratigrafis antara formasi, maupun perbedaan umur dari masing-masing formasi. Ini disebabkan oleh adanya perbedaan data fosil yang digunakan untuk penentuan umur, karena sebagian ahli mempergunakan fosil Moluska dan Foraminifera besar sebagai dasar penelitian, sedangkan ahli lain mempergunakan Foraminifera kecil plantonik sebagai penelitian. Tidak lengkapnya data merupakan penyebab utama adanya perbedaan tersebut. Untuk lebih jelasnya perbedaan tentang susunan stratigrafi di daerah pegunungan Kulon Progo tersebut.

Struktur Geologi Regional

Seperti yang sudah dibahas pada geomorfologi regional, pegunungan Kulon Progo oleh Van Bemmelen (1949, hal.596) dilukiskan sebagai kubah besar memanjang ke arah barat daya-timur laut, sepanjang 32 km, dan melebar kea rah ternggara-barat laut, selebar 15-20 km. Pada kaki-kaki pegunungan di sekekliling kubah tersebut banyak dijumpai sesar-sesar yang membentuk pola radial.

Pada kaki selatan gunung Menoreh dijumpai adanya sinklinal dan sebuah sesar dengan arah barat-timur, yang memisahkan gunung Menoreh dengan gunung ijo serta pada sekitar zona sesar.

Dipublikasi di Geologi, Geologi Regional | Tag , | Meninggalkan komentar

Geologi Regional D. I. Yogyakarta

Geologi Regional D.I.Yogyakarta

Selengkapnya DI SINI!!

Yogyakarta terbentuk akibat pengangkatan Pegunungan Selatan dan Pegunungan Kulon Progo pada Kala Plistosen awal (0,01-0,7 juta tahun). Proses tektonisme diyakini sebagai batas umur Kwarter di wilayah. Setelah pengangkatan Pegunungan Selatan, terjadi genangan air (danau) di sepanjang kaki pegunungan hingga Gantiwarno dan Baturetno. Hal ini berkaitan dengan tertutupnya aliran air permukaan  di sepanjang kaki pegunungan sehingga terkumpul dalam cekungan yang lebih rendah. Gunung Api Merapi muncul pada 42.000 tahun yang lalu, namun data umur K/Ar lava andesit di Gunung Bibi, Berthomier (1990) menentukan aktivitas Gunung Merapi telah berlangsung sejak 0,67 juta tahun lalu. Hipotesisnya adalah tinggian di sebelah selatan, barat daya, barat dan utara Yogyakarta, telah membentuk genangan sepanjang kaki gunung api yang berbatasan dengan Pegunungan Selatan Kulon Progo. Pengangkatan Pegunungan Selatan pada Kala Plistosen Awal, telah membentuk Cekungan Yogyakarta.

 Di dalam cekungan tersebut selanjutnya berkembang aktivitas gunung api (Gunung) Merapi. Didasarkan pada data umur penarikhan 14C pada endapan sinder yang tersingkap di Cepogo, aktivitas Gunung Merapi telah berlangsung sejak ±42.000 tahun yang lalu; sedangkan data penarikhan K/Ar pada lava di Gunung Bibi, aktivitas gunung api tersebut telah berlangsung sejak 0,67 jtl. Tinggian di sebelah selatan dan kemunculan kubah Gunung Merapi di sebelah utara, telah membentuk sebuah lembah datar. Bagian selatan lembah tersebut berbatasan dengan Pegunungan Selatan, dan bagian baratnya berbatasan dengan Pegunungan Kulon Progo. Kini, di lokasi-lokasi yang diduga pernah terbentuk lembah datar tersebut, tersingkap endapan lempung hitam. Lempung hitam tersebut adalah batas kontak antara batuan dasar dan endapan gunung api Gunung Merapi. Didasarkan atas data penarikhan 14C pada endapan lempung hitam di Sungai Progo (Kasihan), umur lembah adalah ±16.590 hingga 470 tahun, dan di Sungai Opak (Watuadeg) berumur 6.210 tahun. Endapan lempung hitam di Sungai Opak berselingan dengan endapan Gunung Merapi. Jadi data tersebut dapat juga diinterpretasikan sebagai awal pengaruh pengendapan material Gunung Merapi terhadap wilayah ini. Di Sungai Winongo (Kalibayem) tersingkap juga endapan lempung hitam yang berselingan dengan lahar berumur 310 tahun. Jadi, aktivitas Gunung Merapi telah mempengaruhi kondisi geologi daerah ini pada ±6210 hingga ±310 tl.

Fisiografi Pulau Jawa

Secara umum, fisiografi Jawa Tengah bagian selatan-timur yang meliputi kawasan Gunungapi Merapi, Yogyakarta, Surakarta dan Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi dua zona, yaitu Zona Solo dan Zona Pegunungan Selatan (Bemmelen, 1949) (lihat Gambar 2.1). Zona Solo merupakan bagian dari Zona Depresi Tengah (Central Depression Zone) Pulau Jawa. Zona ini ditempati oleh kerucut G. Merapi (± 2.968 m). Kaki selatan-timur gunungapi tersebut merupakan dataran Yogyakarta-Surakarta ( ± 100 m sampai 150 m) yang tersusun oleh endapan aluvium asal G. Merapi. Di sebelah barat Zona Pegunungan Selatan, dataran Yogyakarta menerus hingga pantai selatan Pulau Jawa, yang melebar dari P. Parangtritis hingga K. Progo. Aliran sungai utama di bagian barat adalah K. Progo dan K. Opak, sedangkan di sebelah timur ialah K. Dengkeng yang merupakan anak sungai Bengawan Solo (Bronto dan Hartono, 2001).

Satuan perbukitan terdapat di selatan Klaten, yaitu Perbukitan Jiwo. Perbukitan ini mempunyai kelerengan antara 40 – 150 dan beda tinggi 125 – 264 m. Beberapa puncak tertinggi di Perbukitan Jiwo adalah G. Jabalkat (± 264 m) di Perbukitan Jiwo bagian barat dan G. Konang (lk. 257 m) di Perbukitan Jiwo bagian timur. Kedua perbukitan tersebut dipisahkan oleh aliran K. Dengkeng. Perbukitan Jiwo tersusun oleh batuan Pra-Tersier hingga Tersier (Surono dkk, 1992).

Zona Pegunungan Selatan dibatasi oleh Dataran Yogyakarta-Surakarta di sebelah barat dan utara, sedangkan di sebelah timur oleh Waduk Gajahmungkur, Wonogiri dan di sebelah selatan oleh Lautan India. Di sebelah barat, antara Pegunungan Selatan dan Dataran Yogyakarta dibatasi oleh aliran K. Opak, sedangkan di bagian utara berupa gawir Baturagung. Bentuk Pegunungan Selatan ini hampir membujur barat-timur sepanjang lk. 50 km dan ke arah utara-selatan mempunyai lebar lk. 40 km (Bronto dan Hartono, 2001).

Zona Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi tiga subzona, yaitu Subzona Baturagung, Subzona Wonosari dan Subzona Gunung Sewu (Harsolumekso dkk., 1997 dalam Bronto dan Hartono, 2001). Subzona Baturagung terutama terletak di bagian utara, namun membentang dari barat (tinggian G. Sudimoro, ± 507 m, antara Imogiri-Patuk), utara (G. Baturagung, ± 828 m), hingga ke sebelah timur (G. Gajahmungkur, ± 737 m). Di bagian timur ini, Subzona Baturagung membentuk tinggian agak terpisah, yaitu G. Panggung (± 706 m) dan G. Gajahmungkur (± 737 m). Subzona Baturagung ini membentuk relief paling kasar dengan sudut lereng antara 100 – 300 dan beda tinggi 200-700 meter serta hampir seluruhnya tersusun oleh batuan asal gunungapi.

Subzona Wonosari merupakan dataran tinggi (± 190 m) yang terletak di bagian tengah Zona Pegunungan Selatan, yaitu di daerah Wonosari dan sekitarnya. Dataran ini dibatasi oleh Subzona Baturagung di sebelah barat dan utara, sedangkan di sebelah selatan dan timur berbatasan dengan Subzona Gunung Sewu. Aliran sungai utama di daerah ini adalah K. Oyo yang mengalir ke barat dan menyatu dengan K. Opak (lihat Gambar 2.2). Sebagai endapan permukaan di daerah ini adalah lempung hitam dan endapan danau purba, sedangkan batuan dasarnya adalah batugamping.

Subzona Gunung Sewu merupakan perbukitan dengan bentang alam karts, yaitu bentang alam dengan bukit-bukit batugamping membentuk banyak kerucut dengan ketinggian beberapa puluh meter. Di antara bukit-bukit ini dijumpai telaga, luweng (sink holes) dan di bawah permukaan terdapat gua batugamping serta aliran sungai bawah tanah. Bentang alam karts ini membentang dari pantai Parangtritis di bagian barat hingga Pacitan di sebelah timur.

Zona Pegunungan Selatan di Jawa Timur pada umumnya merupakan blok yang terangkat dan miring ke arah selatan. Batas utaranya ditandai escarpment yang cukup kompleks. Lebar maksimum Pegunungan Selatan ini 55 km di sebelah selatan Surakarta, sedangkan sebelah selatan Blitar hanya 25 km. Diantara Parangtritis dan Pacitan merupakan tipe karts (kapur) yang disebut Pegunungan Seribu atau Gunung Sewu, dengan luas kurang lebih 1400 km2 (Lehmann. 1939). Sedangkan antara Pacitan dan Popoh selain tersusun oleh batugamping (limestone) juga tersusun oleh batuan hasil aktifitas vulkanis berkomposisi asam-basa antara lain granit, andesit dan dasit (Van Bemmelen,1949).

Fisiografi dan Geomorfologi Regional

Menurut Van Bemmelen ( 1949, hal. 596), Pegunungan Kulon dilukiskan sebagai dome besar dengan bagian puncak datar dan sayap-sayap curam, dikenal sebagai “Oblong Dome”. Dome ini mempunyai arah utara timur laut – selatan barat daya, dan diameter pendek 15-20 Km, dengan arah barat laut-timur tenggara.

Di bagian utara dan timur, komplek pegunungan ini dibatasi oleh lembah Progo, dibagian selatan dan barat dibatasi oleh dataran pantai Jawa Tengah. Sedangkan di bagian barat laut pegunungan ini berhubungan dengan deretan Pegunungan Serayu.

Inti dari dome ini terdiri dari 3 gunung api Andesit tua yang sekarang telah tererosi cukup dalam, sehingga dibeberapa bagian bekas dapur magmanya telah tersingkap. Gunung Gajah yang terletak di bagian tengah dome tersebut, merupakan gunung api tertua yang menghasilkan Andesit hiperstein augit basaltic. Gunung api yang kemudian terbentuk yaitu gunung api Ijo yang terletak di bagian selatan. Kegiatan gunung api Ijo ini menghasilkan Andesit piroksen basaltic, kemudian Andesit augit hornblende, sedang pada tahapterakhir adalh intrusi Dasit pada bagian inti. Setelah kegiatan gunung Gajah berhenti dan mengalami denudasi, di bagian utara mulai terbentuk gunung Menoreh, yang merupakan gunung terakhir pada komplek pegunungan Kulon Progo. Kegiatan gunung Menoreh mula-mula menghasilkan Andesit augit hornblen, kemudian dihasilkan Dasit dan yang terakhir yaitu Andesit.

Dome Kulon Progo ini mempunyai puncak yang datar. Bagian puncak yang datar ini dikenal sebagai “Jonggrangan Platoe“ yang tertutup oleh batugamping koral dan napal dengan memberikan kenampakan topografi “kars“. Topografi ini dijumpai di sekitar desa Jonggrangan, sehingga litologi di daerah tersebut dikenal sebagai Formasi Jonggrangan.

Pannekoek (1939), vide (Van Bammelen, 1949, hal 601) mengatakan bahwa sisi utara dari Pegunungan Kulon Progo tersebut telah terpotong oleh gawir-gawir sehingga di bagian ini banyak yang hancur, yang akhirnya tertimbun di bawah alluvial Magelang.

Stratigrafi Pegunungan Kulon Progo

Daerah penelitian yang merupakan bagian sebelah timur dari Pegunungan Serayu Selatan, secara stratigrafis termasuk ke dalam stratigrafis Pegunungan Kulon Progo. Unit stratigrafis yang paling tua di daerah Pegunungan Kulon Progo dikenal dengan Formasi nanggula, kemudian secara tidak selaras diatasnya diendapkan batuan-batuan dari Formasi Jonggaran dan Formasi Sentolo, yang menurut Van Bemmmelen (1949, hal.598), kedua formasi terakhir ini mempunyai umur yang sama, keduanya hanya berbeda faises.

  • Formasi Nanggulan

Formasi Nanggulan merupakan formasi yang paling tua di daerah pegunungan Kulon Progo. Singkapan batuan batuan penyusun dari Formasi Naggulan dijumpai di sekitar desa Nanggulan, yang merupakn kaki sebelah timur dari Pegunungan Kulon Progo.

Penyusun batuan dari formasi ini menurut Wartono Raharjo dkk (1977) terdiri dari Batupasir dengan sisipan Lignit, Napal pasiran, Batulempung dengan konkresi Limonit, sisipan Napa dan Batugamping, Batupasir dan Tuf serta kaya akan fosil foraminifera dan Moluska. Diperkirakan ketebalan formasi ini adalah 30 meter.

Marks (1957) menyebutkan bahwa berdasarkan beberapa studi yang dilakukan olh Martin (1915), Douville (1912), Oppernorth & Gerth (1928), maka formasi Nanggulan ini dibagai menjadi 3 bagian secara strtigrafis dari bawah ke atas adalah sebagai berikut:

a)  Anggota (“ Axinea Berds”), marupakan bagian yang paling bawah dari formasi Nanggulan. Ini terdiri dari Batupasir dengan interkalasi Lignit, kemudian tertutup oleh batupasir yang banyak mengandung fosil Pelcypoda, dengan Axinea dunkeri Boetgetter yang dominan. Ketebalan anggota Axinea ini mencapai 40 m.

b)  Anggota Djogjakartae (‘Djokjakarta”). Batuan penyususn dari bagian ini adalah Napal pasiran, Batuan dan Lempung dengan banyak konkresi yang bersifat gampingan. Anggota Djokjakartae ini kaya akan Foraminifera besar dan Gastropoda. Fosil yang khas adalah Nummulites djokjakartae (MARTIN), bagian ini mempunyai ketenalan sekitar 60 m.

Anggota Discocyclina (“Discocylina Beds”), Batuan penyususn dari bagian ini adalah Napal pasiran, Batupasir arkose sebagi sisipan yang semakin ke atas sering dijumpai. Discocyciina omphalus, merupakan fosil penciri dari bagian ini.Ketebalan dari anggota ini mencapai 200 meter

Berdasarkan pada studi fosil yang diketemukan, Formasi Nanggulan mempunyai kisaran umur antara Eosen Tengah sampai Oligosen Atas (Hartono, 1969, vide Wartono Raharjo dkk, 1977).

  • Formasi Andesit Tua

   Batuan penyusun dari formasi ini terdiri atas Breksi andesit, Tuf, Tuf Tapili, Aglomerat dan sisipan aliran lava andesit. Lava, terutama terdiri dari Andesit hiperstein dan Andesit augit hornblende (Wartono Raharjo dkk, 1977).

Formasi Andesit Tua ini dengan ketebalan mencapai 500 meter mempunyai kedudukan yang tidak selaras di atas formasi Nanggulan. Batuan penyusun formasi ini berasal dari kegiatan vulaknisme di daerah tersebut, yaitu dari beberapa gunung api tua di daerah Pegunungan Kulon Progo yang oleh Van Bemmelen (1949) disebut sebagai Gunung Api Andesit Tua. Gunung api yang dimaksud adalah Gunung Gajah, di bagian tengah pegunungan, Gunung Ijo di bagian selatan, serta Gunung Menoreh di bagian utara Pegunungan Kulon Progo.

Aktivitas dari Gunung Gajah di bagian tengah mengahsilkan aliran-aliran lava dan breksi dari andesit piroksen basaltic. Aktivitas ini kemudian diikuti Gunung Ijo di bagian selatan Pegunungan Kulon Progo, yang menghasilkan Andesit piroksen basaltic, kemudian Andesit augit hornblende dan kegiatan paling akhir adalah intrusi Dasit. Setelah denudasi yang kuat, sedikit anggota dari Gunung Gajah telah tersingkap, di bagian utara, Gunung Menoreh ini menghasilkan batuan breksi Andesit augithornblende, yang disusul oleh intrusi Dasit dan Trakhiandesit.

Purnamaningsih (1974, vide warttono rahardjo, dkk, 1977) menyebutkan telah menemukan kepingan Tuff napalan yang merupakan fragmen Breksi. Kepingan Tuff napalan ini merupakan hasil dari rombakan lapisan yang lebih tua, dijumpai di kaki gunun Mujil. Dari hasil penelitian, kepingan Tuff itu merupakan fosil Foraminifera plantonik yang dikenal sebagai Globigerina ciperoensis bolli, Globigerina geguaensis weinzrel; dan applin serta Globigerina praebulloides blow. Fosil-fosil ini menunjukkan umur Oligosen atas.

Formasi Andesit Tua secara stratrigrafis berada di bawah Formasi Sentolo. Harsono Pringgoprawiro (1968, hal.8) dan Darwin Kadar (1975, hal.2) menyimpulkan bahwa umur Formasi Sentolo berdasarkan penelitian terhadap Foraminifera plantonik adalah berkisar antara Awal Meiosen sampai Pliosen. Formasi Nanggulan, yang terletak di bawah Formasi Andesit Tua mempunyai kisaran umur Eosen Tengah hingga Oligosen Atas (hartono, 1969, vide Wartono Rahardjo, dkk, 1977). Jika kisaran umur itu dipakai, maka Formasi Andesit Tua diperkirakan berumur Oligosen Atas sampai Meiosen Bawah. Menurut Purbaningsih (1974, vide wartono Rahardjo, dkk, 1977) umur Formasi Tua ini adalah Oligosen.

  • Formasi Jonggrangan

Litologi dari Formasi Jonggrangan ini tersingkap baik di sekitar desa Jonggrangan, suatu desa yang ketinggiannya di atas 700 meter dari muka air laut dan disebut sebagai Plato Jonggrangan.

Bagian bawah dari formasi ini terdiri dari Konglomerat yang ditumpangi oleh Napal tufan dan Batupasir gampingan dengan sisipan Lignit. Batuan ini semakin ke atas berubah menjadi Batugamping koral (Wartono rahardjo, dkk, 1977)

Formasi Jonggrangan ini terletak secara tidak selaras di atas Formasi Andesit Tua. Ketebalan dari Formasi Jonggrangan ini mencapai sekitar 250 meter (van Bemmelen, 1949, hal.598). koolhoven (vide van Bemmelen, 1949, hal.598) menyebutkan bahwa formasi Jonggrangan dan Formasi SEntolo keduanya merupakan Formasi Kulon Progo (“Westopo Beds”) ini diduga berumur Miosen Tengah.

  • Formasi Sentolo

Litologi penyusun Formasi Sentolo ini di bagian bawah, terdiri dari Aglomerat dan Napal, semakin ke atas berubah menjadi Batugamping berlapis dengan fasies neritik. Batugamping koral dijumpai secara lokal, menunjukkan umur yang sama dengan formasi Jonggrangan, tetapi di beberapa tempat umur Formasi Sentolo adalah lebih muda (Harsono Pringgoprawiro, 1968, hal.9).

Berdasarkan penelitian fosil Foraminifera yang dilakukan Darwin kadar (1975) dijumpai beberapa spesies yang khas, seperti : Globigerina insueta CUSHMAN & STAINFORTH, dijumpai pada bagian bawah dari Formasi Sentolo. Fosil-fosil tersebut menurut Darwin Kadar (1975, vide Wartono Rahardjo, dkk, 1977) mewakili zona N8 (Blow, 1969) atau berumur Miosen bawah. Menurut Harsono Pringgoprawiro (1968) umur Formasi Sentolo ini berdasarkan penelitian terhadap fosil Foraminifera Plantonik, adalh berkisar antara Miosen Awal sampai Pliosen (zona N7 hingga N21). Formasi Sentolo ini mempunyai ketebalan sekitar 950 meter ( wartono rahardjo, dkk, 1977).

Dari uraian di atas terlihat stratigrafi daerah Pegunungan Kulon Progo, baik itu perbedaan hubungan stratigrafis antara formasi, maupun perbedaan umur dari masing-masing formasi. Ini disebabkan oleh adanya perbedaan data fosil yang digunakan untuk penentuan umur, karena sebagian ahli mempergunakan fosil Moluska dan Foraminifera besar sebagai dasar penelitian, sedangkan ahli lain mempergunakan Foraminifera kecil plantonik sebagai penelitian. Tidak lengkapnya data merupakan penyebab utama adanya perbedaan tersebut. Untuk lebih jelasnya perbedaan tentang susunan stratigrafi di daerah pegunungan Kulon Progo tersebut.

Semoga bermanfaat ^_^

Dipublikasi di Geologi, Geologi Regional | Tag , | Meninggalkan komentar

Sedimentologi: Analisis Ukuran Butir Pasir (Analisis Granulometri)

Pada posting kali ini masih membahas tentang Sedimentologi, yaitu analisis ukuran butir pasir (atau biasa disebut Analisis Granulometri). Ukuran butir pasir itu ada 5 jenis, yaitu pasir sangat halus, halus, sedang, kasar, sangat kasar, dengan range ukuran butir pasir tersebut mulai dari 1/16 mm – 2 mm. Nah, pada kali ini, kita ngelakuin analisis terhadap distribusi ukuran butir sedimennya. Misalnya nih kita di suatu daerah yang ada aliran sungainya, lalu pada bagian point bar-nya, terdapat endapan sedimen dengan berbagai macam ukuran. Nah, kita sampel endapan tersebut untuk kita liat, gimana sih distribusinya. Apakah lebih banyak yang runcing? atau lebih banyak yang membundar? Dimana hal tersebut akan mempengaruhi interpretasi kita terhadap mekanisme transportasi atau proses-proses lainnya yang mempengaruhi ukuran butir sedimen tersebut. Kalo kurang paham, bisa temuin saya di kampus ya….atau coba baca pelan-pelan aja. Gak usah buru-buruNah, pada analisis ini, nanti kita bisa tahu apa itu skewness, kurtosis, sortasi, dan mean, dan bagaimana cara menghitungnya (ada hitung-hitungannya)

yang di bawah ini itu dasar teorinya. Diharapkan untuk Ctrl + C, buka Word, terus Ctrl + V, tapi harus ingat syaratnya, yaitu DIEDIT sesuai dengan pemahaman sendiri ya

ANALISIS UKURAN BUTIR PASIR (ANALISIS GRANULOMETRI)

Analisis granulometri merupakan suatu analisis tentang ukuran butir sedimen. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui tingkat resistensi butiran sedimen terhadap proses-proses eksogenik seperti pelapukan erosi dan abrasi dari provenance, serta proses transportasi dan deposisinya. Hal-hal tersebut merupakan variabel penting dalam melakukan suatu interpretasi.

Tingkat resistensi suatu batuan dapat dilihat dari ukuran butirnya. Proses-proses eksogenik akan mengubah bentuk dan ukuran suatu partikel sedimen. Nah, yang mungkin awalnya runcing-runcing, atau ukuran butirnya masih gede-gede, lama kelamaan kan seiring waktu akan berubah karena proses eksogenik itu. Sedangkan proses transportasi dan deposisi memperlihatkan proses bagaimana agen utama seperti air menggerakkan dan mengendapkan butiran sedimen.

Menurut Boggs (1987), ada 3 faktor yang mempengaruhi ukuran butir batuan sedimen, yaitu variasi ukuran butir sedimen asal, proses transportasi, dan energi pengendapan. Data-data hasil analisis ukuran butir sedimen tersebut digunakan untuk mengetahui 3 faktor tersebut secara jelas.

Material-material sedimen yang terdapat di permukaaan bumi memiliki ukuran yang sangat bervariasi. Udden (1898) membuat skala ukuran butiran sedimen, yang kemudian skala tersebut dimodifikasi oleh Wenworth pada tahun 1922 dan dikenal dengan skala ukuran butir Udden-Wenworth (1922). Ukuran butiran sedimen yang ditetapkan adalah mulai dari <1/256 hingga >256mm dan terbagi menjadi 4 kelompok besar, yaitu clay, silt, sand, dan gravel.

Setelah skala Udden-Wenworth banyak digunakan, kemudian Krumbein (1934) membuat suatu transformasi logaritmik dari skala tersebut yang kemudian dikenal dengan skala phi Φ = – log­­2 d, dengan d adalah ukuran butir dalam mm. Skala phi akan menghasilkan nilai positif dan nilai negatif. Semakin besar ukuran butir dalam mm, maka nilai phi akan semakin negatif. Sebaliknya, semakin kecil ukuran butir dalam mm, maka nilai phi akan semakin positif. Krumbein memilih logaritma negatif dari ukuran butir (mm) karena ukuran pasir dan butiran halus lebih sering dijumpai pada batuan sedimen.

Analisis distribusi ukuran sedimen dapat dilakukan dengan cara melakukan pengukuran langsung terhadap material sedimen berukuran gravel, dan pengayakan kering pada material sedimen berukuran pasir dan lempung. Untuk mendapatkan sampel yang mampu mewakili semua sampel itu sendiri, maka dilakukan splitting. Metode splitting yang digunakan dalam praktikum adalah quartering. Quartering dilakukan dengan cara menuangkan sampel melalui suatu corong di atas karton yang disilangkan saling tegak lurus sehingga sampel akan terbagi dalam 4 kuadran. Proses ini diulang-ulang hinggai diperoleh berat sampel yang diinginkan.

Ada beberapa metode atau cara yang dilakukan untuk menganalisis distribusi ukuran butir, yaitu cara grafis dan cara matematis. Analisis yang dilakukan bertujuan untuk mendapatkan beberapa parameter. Parameter nilai pada pengukuran butir sedimen antara lain ukuran butir rata-rata (mean), keseragaman butir (sorting), skewness, dan kurtosis. Parameter tersebut dapat ditentukan nilainya berdasarkan perhitungan secara grafis maupun secara matematis. Perhitungan secara grafis menggunakan persamaan yang berdasarkan nilai phi pada sumbu horizontal kurva prosentase frekuensi kumulatif. Sedangkan perhitungan matematis menggunakan rumus umum momen pertama dengan asumsi bahwa kurva distribusi frekuensinya bersifat normal (Gaussian).

  • Cara Grafis

            Cara grafis dilakukan setelah melakukan pengayakan dan penimbangan terhadap butiran sedimen. Butiran sedimen yang diayak dan ditimbang berukuran pasir halus hingga pasir kasar. Setelah dilakukan pengayakan dan penimbangan, data-data tersebut diplot dalam beberapa grafik dan histogram. Salah satunya adalah kurva frekuensi kumulatif yang digunakan untuk menentukan nilai phi pada persentil tertentu yang kemudian dimasukkan dalam rumus moment. Rumus-rumus yang digunakan dalam cara grafis adalah:

         Median

         Median adalah ukuran butir partikel tepat pada tengah-tengah populasi, yang berarti separuh dari berat keseluruhan partikel adalah lebih halus sedangkan separuh lainnya lebih kasar dari ukuran butir tersebut. Median dapat dilihat secara langsung dari kurva komulatif, yaitu nilai phi pada titik dimana kurva komulatif memotong nilai 50%.

         Mode

         Mode merupakan ukuran butir yang frekuensi kemunculannya paling sering (paling banyak). Nilai mode adalah nilai phi pada titik tertinggi kurva frekuensi.

Mean

Mean adalah nilai rata-rata ukuran butir. Pada umumnya ukuran butir ini dinyatakan dalam phi ataupun dalam satuan mm.

Sortasi

       Sortasi adalah nilai standar deviasi distribusi ukuran butir (sebaran nilai di sekitar mean). Parameter ini menunjukkan tingkat keseragaman butir.

Nilai Standard Deviasi Klasifikasi
< 0,35 Very well sorted
0,35 – 0,50 Well sorted
0,50 – 0,71 Moderately well sorted
0,71 – 1,00 Moderately sorted
1,00 – 2,00 Poorly sorted
2,00 – 4,00 Very poorly sorted
> 4,00 Extremely poorly sorted

Skewness (Sk)

Skewness menyatakan derajat ketidaksimetrian suatu kurva. Bila Sk berharga positif maka sedimen yang bersangkutan mempunyai jumlah butir kasar lebih banyak dari jumlah butir yang halus dan sebaliknya jika berharga negatif maka sedimen tersebut mempunyai jumlah butir halus lebih banyak dari jumlah butir yang kasar.

Nilai Skewness Klasifikasi
+1.0 sd +0,3 Very fine skewness
+0,3 sd +0,1 Fine skewness
+0,1 sd -0,1 Near symmetrical
-0,1 sd -0,3 Coarse skewness
-0,3 sd -1,0 Very coarse skewness

Kurtosis

Kurtosis dapat menunjukan harga perbandingan antara pemilahan bagian tengah terhadap bagian tepi dari suatu kurva. Untuk menentukan harga K digunakan rumus yang diajukan oleh Folk (1968)

Nilai Kurtosis Klasifikasi
<0,67 Very platycurtic
0,67 – 0,90 Platycurtic
0,90 – 1,11 Mesokurtic
1,11 – 1,50 Leptokurtic
1,50 – 3,00 Very leptokurtic
>3,00 Extremely leptokurtic
  • Cara Matematis

Cara matematis menggunakan perhitungan rumus matematis dan sangat berbeda dengan cara grafis. Cara ini lebih teliti karena tidak perlu melakukan pembacaan kurva kumulatif yang kemungkinan besar dapat mengalami kesalahan dalam pembacaannya. Rumus-rumus yang dipakai dalam perhitungan adalah tidak ada rumusnya, gak tau ini kenapa kok gak bisa uplaod gambarnya ya. Maaf ya, coba cari sendiri -_-“

Daftar Pustaka (a.k.a Buku-Buku Sakti)

Boggs, Sam.2006. Principles of Sedimentary and Stratigraphy 4th Edition. New Jersey Pearson Education, Inc

Husein, Salahuddin. 2011. Proses Eksogenik: Erosi dan Sedimentasi. Yogyakarta: Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada

Staff Asisten Geomorfologi. 2009. Panduan Praktikum Geomorfologi. Yoyakarta: Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada

Surjono, Sugeng S. – . Buku Ajar Sedimentologi. Yogyakarta: Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada

Surjono, Sugeng S., Amijaya, D. Hendra., Winardi, Sarju. 2010 . Analisis Sedimentologi. Yogyakarta: Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada

Dipublikasi di Geologi, Sedimentologi | Tag , | Meninggalkan komentar

Pada kali ini kita akan membahas morfologi butir pada Sedimentologi. Praktikumnya itu kayak gini. Kita ngambil sampel kerakal di lapangan, terus bawa pulang lalu dipajang di kamar. Lalu itu batu yang udah didapet dari lapangan, terus dijiplak (bukan digeplak). Jadi itu batu-batu yang jumlahnya tidak mau saya sebutkan, yang pasti BANYAK!!! diletakin di atas kertasses (kertasnya bentuk jamak), terus dijiplak dari kenampakan b./a dan c/b, terus difoto, terus dilakuin perhitungan bla bla bla bla bla…. Saya yakin deh pasti kalian enjoy banget ngejalanin praktikum ini dan praktikum-praktikum selanjutnya. Bagi yang membaca postingan ini, mohon temui saya segera di salah satu tempat di bumi ini, atau SMS saya, ketik REG(spasi)……ah sudahlah…

Dear Readers tersayang….
Apabila mau melanjutkan membaca tulisan lanjutan di bawah, DIWAJIBKAN untuk men-drag semuanya, lalu pencet tombol keyboard Ctrl + C, lalu buka Microsoft Word, lalu Ctrl + V. Nah, tapi ada syaratnya. Syaratnya itu harus diedit.

Kenapa harus diedit qaqaaa?”

Karena tulisannya itu diketik bulet-bulet langsung dari buku saktinya, jadi mending diedit, jadi biar paham dengan kata-kata sendiri, bukan paham dari kata-kata orang lain 😀

Sudah cukup basa-basinya, let’s get started to the main topic

Kita tahu bahwa terdapat beberapa jenis ukuran butir sedimen, mulai dari lempung, lanau, pasir hingga gravel. Analisis morfologi butir pasir ini dimaksudkan agar kita dapat menganalisis morfologinya berdasarkan metode-metode tertentu, dan juga mengetahui proses-proses geologi apa saja yang mempengaruhi perubahan morfologi butirnya. Ya contohnya saja proses eksogenik seperti pelapukan, erosi, dan transportasi. Umunya proses-proses eksogenik itu kan bisa merubah morfologi butir-butir itu, mungkin ada yang awalnya runcing-runcing, lama kelamaan akan menjadi rounded. Biasanya pada ilmu Sedimentologi, ada beberapa perhitungan yang dilakukan supaya kita dapat mengklasifikasikan butir-butir itu termasuk ke dalam kategori apa. Nanti dibahas di bagian selanjutnya

Tujuannya dilakukan analisis kayak gini ya biar kita juga tahu dan ingat, apa-apa aja sih bentuk-bentuk material sedimen itu, terutama yang berukuran pasir. Terus juga kita bisa tahu morfologinya itu ada kategorinya, yaitu aspek bentuk (form), derajat kebolaan (sphericity), dan derajat kebundaran (roundness)

Berdasarkan buku teks sedimentologi seperti yang telah dibahas oleh Pettijohn (1975), Fritz & Moore (1988), Tucker (1991), Boggs (1987, 1992) dan beberapa sumber lainnya, aspek tekstur sedimen yang utama adalah morfologi butir yang memiliki keterkaitan dengan sortasi.

Tucker (1991) menyatakan bahwa aspek morfologi butir adalah bentuk (form), derajat kebolaan (sphericity) dan derajat kebundaran (roundness), namun pernyataan yang berbeda dikemukakan oleh Pettijohn (1975) dan Boggs (1992), yang menekankan bahwa sphericity merupakan metode untuk menyatakan suatu bentuk (form), sehingga aspek morfologi butirnya terdiri dari bentuk (form), kebundaran (roundness), dan tekstur permukaan.

Bentuk Butir

Bentuk butir (form) merupakan keseluruhan kenampakan partikel secara tiga dimensi yang berkaitan dengan perbandingan antara ukuran panjang sumbu terpanjang (a), sumbu menengah (b), dan sumbu terpendek (c). Untuk menentukan bentuk butir ini, Zingg memperkenalkan suatu metode untuk mendefinisikan bentuk butirnya. Caranya adalah dengan menggunakan perbandingan antara b/a dan c/b. Setelah mendapatkan nilai perbandingannya, klasifikasi bentuk butir terbagi dalam empat bentuk, yaitu oblate, prolate, bladed, dan equant.

Apabila dilihat dari aspek geometri bentukan dari butiran pasir tersebut, bentuk prolate dan equant cenderung lebih mudah untuk tertransportasi daripada bentuk oblate  dan bladed.

Image

Gambar 1. Klasifikasi butiran kerakal – berangkal berdasarkan perbandingan antar sumbu (Zingg, 1935, diambil dari Pettijohn, 1975 dengan modifikasi)

Sphericity

Sphericity merupakan ukuran butiran hingga mendekati bentuk bola (Surjono, 2011) <– (dosen favorit nih). Semakin tinggi nilai sphericity, maka butiran tersebut semakin menyerupai bentuk bola. Menurut Wadell (1932), rumus untuk mencari nilai sphericity adalah………..ada di bukunya, gak ada di sini. Rumus tersebut kemudian dikembangkan oleh Krumbein (1941) yang mengasumsikannya ke dalam bentuk sumbu length (DL, panjang), intermediate (DI, menengah), dan short (DS, pendek), dengan rumus yang tercantum di dalam buku tersebut. Cek saja sendiri 😉

Rumus yang diajukan Krumbein (1941) ini disebut dengan intercept sphericityyang dapat dihitung dengan mengukur sumbu-sumbu panjang, menengah dan pendek suatu partikel dan memasukkan pada rumus tersebut. Sneed & Folk (1958) menganggap bahwa intercept  sphericity  tidak dapat secara tepat menggambarkan perilaku butiran ketika diendapkan. Butiran yang dapat diproyeksikan secara maksimum  mestinya diendapkan lebih cepat, misalnya bentuk prolate seharusnya lebih cepat mengendap dibandingkan oblate, tetapi dengan rumus tersebut, justru didapatkan nilai yang terbalik. Untuk itu mereka mengusulkan rumusan tersendiri pada sphericity yang dikenal dengan maximum projection sphericity ( p) atau sphericity proyeksi maksimum. Secara matematis p dirumuskan sebagai perbandingan antara area proyeksi maksimum bola dengan proyeksi maksimum partikel yang mempunyai volume sama. (paragraf ini mohon dipahami dan diedit ulang, karena saya sendiri juga gak paham maksud nya apaan -_-)

Dengan tanpa mempertimbangkan bagaimana sphericity dihitung, Boggs (1987) menyatakan bahwa hasil perhitungan sphericity yang sama terkadang dapat diperoleh pada semua bentuk butir

Rumusnya gak ada . . . Rumusnya gak ada… Rumusnya ada….di buku sakti yang covernya ada gambar batu dan palu :3

Roundness

Roundness merupakan ketajaman pinggir dan sudut suatu material sedimen klastik. Menurut Wadell (1932), pengukuran roundness suatu butir dilakukan dengan cara mengukur masing-masing sudut butiran tersebut, kemudian jari-jari kelengkungan butiran tersebut dibandingkan dengan jari-jari lingkaran maksimum yang dapat dimasukkan pada butiran tersebut.

Menurut Folk (1968) pengukuran sudut-sudut tersebut hampir tidak mungkin bisa dipraktekkan, sedangkan Boggs (1987) menegaskan bahwa cara tersebut memerlukan waktu yang banyak untuk kerja di laboratorium dengan harus dibantu alat circular protractor atau electronic particle-size analyzer. Untuk mengatasi hal tersebut, maka Krumbein (1941) membuat suatu table visual roundness), agar penentuan roundness butiran dapat dilakukan dengan cara dengan membandingkan kenampakan (visual comparison).

Ada beberapa hal yang menentukan roundness butiran pada endapan sedimen, yaitu bentuk batuan asal, komposisi butiran, ukuran butir, proses transportasi, dan jarak transportnya (Boggs, 1987). Apabila sifat fisik suatu butiran sangat resisten (kuarsa dan zircon), maka akan sangat sulit membulit apabila tertransport dibandingkan dengan butiran yang kurang keras seperti feldspar dan piroksen. Butiran dengan ukuran kerikil hingga berangkal biasanya lebih mudah membulat dibandingkan dengan ukuran pasir. Sementara itu mineral yang resisten dengan ukuran butir lebih kecil dari 0,05 – 0,1 mm tidak menunjukkan perubahan roundness oleh semua jenis transport sedimen (Boggs, 1987). Berdasarkan hal tersbeut, maka perlu diperhatikan untuk melakukan pengamatan roundness pada batuan atau mineral yang sama dan kisaran butir yang sama besar.

Daftar Pustaka (a.k.a Buku-Buku Sakti)

Boggs, S. Jr., 2006, Principles of Sedimentology and Stratigraphy 4th edition. New Jersey: Pearson Education, Inc.

Boggs, S. Jr., 2009. Petrology of Sedimentary Rocks 2nd edition. New York: Cambridge University Press

Surjono, S.S.,dkk., 2010 Analisis Sedimentologi, Yogyakarta: Pustaka Geo

Tucker, M.E., 2001, Sedimentary Petrology: An Introduction to the Origin of Sedimentary Rocks 3rd edition. Durham: Blackwell Science

Dipublikasi pada oleh Try Andrian | Meninggalkan komentar

Up in the Air

Up in the Air

I took this picture when it was on the closing ceremony of our gathering show with friends of Geological Engineering of Gadjah Mada University. The closing ceremony started with the releasing of colorful balloons.

Dipublikasi di Uncategorized | Tag , | Meninggalkan komentar